Jumat, 10 Februari 2006

Pengembangan Ayam Pelung Sebagai Penyayi



AYAM pelung merupakan ayam lokal yang memiliki suara kokok merdu, selain ayam bekisar dan ayam kokok balenggek. Suara kokoknya sangat khas, mengalun panjang, besar, dan mendayu-dayu. Durasi kokok ayam pelung cukup panjang, dapat mencapai waktu 10 detik bahkan lebih. Itulah sebabnya ayam pelung dapat dikelompokkan dalam ayam berkokok panjang (long crow fowl).

Bangsa ayam berkokok panjang lainnya adalah ayam toutenko, toumaru, dan koeyoshi. Ketiga bangsa ayam tersebut merupakan ayam asli Jepang yang memiliki durasi kokok sampai 15 detik. Ayam pelung yang memiliki kualitas suara baik dan berhasil memenangkan kontes biasanya memiliki nilai jual yang tinggi dan dapat mencapai harga hingga jutaan rupiah.

Domestikasi ayam pelung
Ayam pelung merupakan ayam lokal yang pada mulanya berkembang di daerah Cianjur. Dengan semakin bertambahnya penggemar ayam pelung maka penyebarannya pun semakin meluas ke berbagai daerah sekitar Bandung, Bogor, Sukabumi, dan daerah lainnya. Kontes ayam pelung juga semakin marak diadakan, baik institusi pemerintah maupun inisiatif perhimpunan penggemar ayam pelung.

Hingga kini belum ditemukan laporan ilmiah yang menjelaskan bagaimana terjadinya domestikasi ayam pelung. Namun paling tidak, ada dua versi pendapat mengenai asal-usul ayam pelung.

Pertama, merupakan cerita rakyat yang berkembang di kalangan peternak daerah sentra. Ayam pelung diperkirakan mulai dipelihara sekira tahun 1850-an oleh seorang kiai di Desa Bunikasih, Kecamatan Warung Kondang, Cianjur. Kiai tersebut bernama Kiai H. Djarkasih. Pada suatu malam, beliau bermimpi bertemu dengan Eyang Suryakencana. Di dalam mimpinya ia disuruh mengambil seekor anak ayam jantan di suatu tempat. Esok harinya ia mendatangi tempat yang disebutkan di dalam mimpi tersebut. Betapa terkejutnya ketika ia menemukan seekor anak ayam jantan yang memiliki bulu tubuh jarang (turundul) di sana. Setelah dewasa ayam tersebut dikawinkan dengan ayam kampung betina dan menghasilkan keturunan, seperti ayam pelung sekarang. Namun tidak diketahui apakah ayam jantan tersebut memiliki suara kokok merdu seperti ayam pelung yang berkembang sekarang, tampaknya masih menjadi teka-teki.

Kedua, berdasarkan penelusuran ilmiah, ayam pelung diduga merupakan turunan ayam hutan merah (Gallus gallus bankiva) yang terdapat di Pulau Jawa. Hal ini kemudian diperkuat riset molekuler yang dilaporkan Fumihito et al. (1994); Hillel (2003) yang menyatakan, ayam domestik yang berkembang sekarang di seluruh dunia berasal dari turunan ayam hutan merah (Gallus gallus).

Sifat produksi
Ayam pelung memiliki bobot badan lebih besar dari ayam kampung, ayam bekisar dan ayam kokok balenggek. Bobot badan ayam pelung jantan dewasa dapat mencapai 3,37 kg, sedangkan ayam betina 2,52 kg. Ayam pelung memiliki postur tubuh tinggi besar, memiliki leher panjang dan kaki yang kokoh. Suara kokok hanya terdapat pada ayam pelung jantan, karena kokok merupakan sifat kelamin sekunder pada ayam jantan dan sangat dipengaruhi oleh hormon testosteron. Meskipun tidak memiliki pola warna bulu yang khas sebagai penciri suatu bangsa pada ayam, namun warna campuran merah dan hitam merupakan warna yang paling dominan pada ayam pelung.
Cakarnya panjang dan besar, warnanya bervariasi dari hitam, kuning, atau putih kekuning-kuningan. Jengger pada umunnya berbentuk tunggal (single comb), berdiri tegak dan bergerigi seperti gergaji.

Sekarang ini terdapat dugaan terjadinya penurunan kualitas suara kokok pada ayam pelung, terutama terlihat pada kualitas ayam-ayam juara. Jatmiko (2001) menduga ada dua faktor penyebab terjadinya penurunan kualitas suara pada ayam pelung. Pertama, adanya kecenderungan yang terjadi di kalangan hobiis, di mana ayam jantan juara tidak diberikan kesempatan untuk mengawini ayam betina. Hal ini terjadi karena adanya anggapan, penurunan kualitas suara ayam jantan yang dikawinkan dengan ayam betina. Ayam jantan biasanya dipelihara dalam kandang individu, yang disebut ajeng.

Fakta yang terjadi di kalangan penggemar ayam pelung tersebut, menurut hemat penulis adalah tidak tepat, karena belum ada laporan ilmiah yang mendukungnya. Bahkan sebaliknya, riset-riset intensif pada burung penyanyi (song bird) menunjukkan, ayam jantan yang memiliki suara merdu harus diberikan kesempatan mengawini ayam betina untuk menghasilkan anak jantan yang baik. Riset pada burung kenari menunjukkan, burung kenari jantan yang bersuara merdu biasanya dominan dalam kelompoknya dan memiliki konsentrasi hormon testosteron lebih tinggi dari pejantan yang tersubordinasi.

Kedua, adanya anggapan tetua jantan tidak terlalu penting dalam perkawinan. Seleksi secara ketat hanya dilakukan untuk memilih ayam betina calon induk. Argumentasi ini juga tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Bahkan penelitian untuk mengetahui cara burung pipit bernyanyi telah dilakukan untuk mengetahui bagaimana ia belajar bernyanyi, dan bagaimana pola pewarisan sifat suara merdu dari orang tua kepada anaknya.

Adalah Grant dan Grant (1997) yang melaporkan, sifat nyanyian (song) pada burung tidak diwariskan secara genetik, namun lebih ditentukan proses berlatih (song learning) pada umur muda. Hal ini kemudian diperkuat Marler dan Doupe (2000) yang menyatakan, sifat nyanyian pada burung merupakan perilaku berlatih yang diwariskan secara kultural (culturally inherited traits).

Studi pada burung pipit (Finch darwin) juga menunjukkan, sifat nyanyian merupakan sifat yang diwariskan secara kultural melalui proses meniru (imprinting).
Berdasarkan fenemona tersebut, penulis menduga kemampuan sifat berkokok pada ayam penyanyi, seperti ayam pelung, ayam bekisar dan ayam kokok balenggek juga diwariskan secara kultural (Rusfidra, 2004). Menurut Solis et al. (2000) masa berlatih terjadi dalam dua fase, yaitu fase sensory dan fase sensorimotor. Selama fase sensory, burung jantan muda sebaiknya dipelihara berdekatan dengan bapaknya atau pejantan yang memiliki suara merdu yang berperan sebagai tutor. Ia akan merekam suara tutornya. Setelah dewasa ia mulai belajar bernyanyi dengan meniru suara tutor yang sudah terekam di otaknya.

Pada fase sensory, organ yang mengatur produksi suara yang disebut song control region (SCR) mengalami perkembangan yang pesat. Fase sensorimotor terjadi setelah burung mengalami dewasa kelamin. Saat inilah ia mulai bernyanyi dan berlatih terus-menurus hingga ia menjadi burung penyanyi yang mahir.

Kontes ayam pelung
Kontes ayam pelung merupakan salah satu kegiatan untuk menumbuhkan motivasi peternak dan penggemar ayam pelung. Kontes yang seringkali diadakan Himpunan Peternak dan Penggemar Ayam Pelung Indonesia (HIPPAPI) telah diadakan di beberapa kota di Jawa Barat.

Aspek yang dinilai adalah penampilan suara kokok dan penampilan ayam pelung. Penilaian aspek suara kokok meliputi volume suara, durasi kokok (kebat), suara angkatan (kokok depan), suara tengah dan suara akhir (tungtung). Ayam pelung dikatakan memiliki suara angkatan baik bila volume suara awal besar, bersih dan panjang.

Suara kokok tengah dikatakan baik bila suara tengah memiliki volume besar, bersih dan terjadi perubahan volume suara diantara suara awal dengan suara tengah, dan antara suara tengah dengan suara akhir. Perubahan volume suara itu disebut dengan istilah bitu.

Suara akhir merupakan suku kata kokok akhir, sebaiknya memiliki volume besar, bersih dan lunyu. Aspek penampilan ayam dinilai berdasarkan keadaan tubuh bagian depan dan belakang. Unsur yang dinilai adalah bentuk dan warna jengger, bentuk dan keadaan mata, hidung, bentuk paruh, leher, tembolok dan paruh.

Meskipun kriteria penilaian telah disepakati bersama dan pada setiap kontes selalu dinilai dewan juri yang berpengalaman dan berintegritas tinggi, namun menurut penulis tetap saja ada faktor subjektivitas dikalangan juri. Hal ini disebabkan keterbatasan indera telinga dewan juri dalam melakukan penilaian, apalagi pada saat yang bersamaan juri harus menilai ayam peserta kontes yang mencapai puluhan sampai ratusan ekor. Untuk mengantisipasi terjadinya keributan pada saat kontes, maka penulis menyarankan penggunaan aplikasi program analisis suara sebagai alat bantu bagi dewan juri dalam menilai suara kokok ayam peserta kontes. Dengan menggunakan program analisis suara maka dapat ditampilkan pola suara kokok, durasi kokok, amplitudo, tinggi rendahnya kokok ayam pelung secara lebih akurat, objektif, terukur, dan memenuhi kaidah saintifik.
Artikel By Dr. Ahmad Rusfidra, S.Pt.,
Peneliti Ayam Penyanyi. Alumni S-3 IPB.

Sumber : http://pakarbisnisonline.blogspot.com/2010/04/pengembangan-ayam-pelung-sebagai.html


www.blogger-kawunganten.blogspot.com

Label: