Jumat, 24 Februari 2006

Inspirasi Strategi Bisnis Dari Enterpreneur Sukses



Salah satu kunci sukses dalam berbisnis adalah tidak henti-hentinya belajar, belajar dari lingkungan, pengalaman, maupun belajar dari pengalaman orang lain. Kesuksesan enterpreneur terdahulu merupakan inspirasi untuk mengembangkan bisnis yang kita jalankan saat ini. Setiap orang memiliki jalan sukses yang berbeda-beda, yang kita lakukan adalah mendapatkan inspirasi dari kesuksesan orang lain bukan menjiplak apa yang dilakukan orang lain. Setiap situasi bisnis dan lingkungan akan berbeda-beda dan sangat unik. Akan tetapi ada semangat dan nilai yang terkandung di dalamnya yang perlu kita tangkap. Bagaimana seorang enterpreneur memanage dan mengendalikan bisnis merupakan nilai yang perlu dipelajari dan diambil pelajaran. Bagaimanapun juga seorang pemimpin dalam bisnis harus mampu memegang kendali bisnis dan membarikan motivasi kepada bawahannya.

Siapa tidak mengenal Ciputra, tokoh enterpreneur yang cukup tersohor di negeri ini. Banyak orang terinspirasi oleh kesuksesan yang ia capai. Kesuksesannya tidak lepas bagaimana sikap dan kebiasaan hidupnya dalam mengelola bisnis. Sikap dan perilaku hidup inilah yang banyak dijadikan inspirasi banyak orang. Suatu ketika Pak Ciputra tiba-tiba meminta sang sopir untuk menghentikan mobilnya ketika memasuki kawasan wisata Taman Impian Jaya Ancol. Ciputra langsung turun dan memungut beberapa sampah yang terserak di jalan, lalu memasukkannya ke tong sampah yang tersedia di pinggir jalan. Setelah itu, seolah tak terjadi apa-apa, ia naik lagi ke mobil, disaksikan para karyawan di lingkungan Taman Impian Jaya Ancol yang hanya bisa tertegun dan tertunduk malu. Kawasan wisata pantai di Jakarta Utara ini, seperti kita tahu, adalah salah satu proyek prestisius karya sang raja properti Indonesia itu.

Cerita yang sempat populer sekitar 25 tahun yang lalu itu tetap relevan hingga sekarang: upaya seorang pemimpin bisnis menanamkan nilai-nilai utama dalam suatu bisnis. Dalam bisnis wisata, kebersihan memang segala-galanya. Dan Ciputra melakukannya dengan sederhana tetapi elegan. Tak perlu pidato berapi-api atau mengutip teori orang-orang hebat. Cukup lewat keteladanan dan contoh nyata.

Bukan cuma di lingkungan kerja. Di lingkungan keluarga – istri, anak-anak, dan para menantunya – Ciputra pun berusaha menanamkan nilai-nilai bisnis dan kehidupan dengan cara yang sama. Meskipun ia tergolong orang hebat di bisnis properti, nilai-nilai hidup yang ditularkannya simpel saja: kerja keras, jujur, menjadi warga negara yang baik, melayani seluruh stakeholder sebaik-baiknya. Itu sebabnya, meskipun sempat berantakan ketika dihajar krisis kawasan 1998, bisnis properti keluarga Ciputra cepat bangkit dan tumbuh lebih besar lagi, bahkan kini mampu berekspansi ke Australia dan Vietnam. Ini semua karena fondasi nilai-nilai pendirinya yang bersifat universal dan terbukti tak lekang oleh waktu dan deraan cuaca bisnis yang seburuk apa pun.

Kalau Ciputra tak canggung menjadi “tukang pungut sampah”, Inspirasi kesuksesan bisnis selanjutnya bisa kita petik lewat Peter F. Gontha yang tak segan menjadi bukan siapa-siapa ketika merintis karier barunya sebagai penyelenggara hajatan musik jaz. Peter tak malu mengakui betapa dirinya sangat kecil dibanding tokoh-tokoh jaz dunia yang dia berusaha mendatangkannya ke Indonesia. Bagai pasien dokter laris, Peter rela antre berjam-jam agar bisa bertemu dengan Bob James. Setelah berhasil ketemu dan mengenalkan diri, dengan kegigihan luar biasa Peter merayu agar musisi jaz ternama asal Amerika Serikat itu mau datang ke Indonesia yang kala itu sedang dilanda banyak kerusuhan. Begitu pula sederet musisi jaz kondang lainnya, dia datangi dan rayu satu per satu. Padahal, di negeri ini, siapa sih yang tak kenal pengusaha sekaliber Peter Gontha!

Berkat kegigihannya, belum lama ini, International Java Jazz Festival besutan Peter Gontha itu dinobatkan sebagai ajang festival jaz terakbar dan tersukses di dunia, mengalahkan North Sea Jazz Festival di Amsterdam dan penyelenggaraan festival jaz kelas dunia lainnya. Kegigihan Peter kini mulai menular kepada putrinya, Dewi Gontha, yang kebetulan punya passion yang sama di bidang musik jaz. Like father like daughter. Begitulah, dengan gairah dan kegigihan seperti ayahnya, Dewi pun mulai berani “mengemudikan” event musik jaz kelas dunia itu.

Ciputra dan Peter Gontha sekadar contoh bagaimana seorang ayah yang sekaligus entrepreneur berusaha menularkan dan mewariskan nilai-nilai bisnis dan kehidupan kepada anak-anak mereka. Memang, sungguh beragam cara atau strategi yang mereka terapkan. Namun, kalau diamati, intinya sebetulnya hampir sama. Mereka tampaknya lebih menekankan keteladanan ketimbang petuah secara lisan, apalagi mengajarkan teori-teori bisnis dan manajemen. Maklumlah, umumnya, sejak dini anak-anak mereka telah disekolahkan di lembaga pendidikan formal yang bagus, bahkan sampai ke mancanegara.

Wisdom dan strategi bisnis pada setiap pengusaha pastilah berbeda dan khas. Dan cara mewariskannya pun tak kalah spesifik. Sebab, untuk menyatukan chemistry antara generasi orang tua dan anak pasti butuh energi dan upaya khusus. Zaman terus berubah, pendidikan dan ilmu berbeda, demikian pula cara pandang dan paham hidup mereka pasti juga tak sama, bahkan tak jarang saling bergesekan.

Karena itu, sungguh menarik menelisik kepiawaian para pengusaha kawakan mereaktualisasi nilai-nilai hidup yang mereka anut ke era anaknya yang sekarang. Bagaimanapun, kendati zaman terus berubah, nilai-nilai tersebut terbukti bersifat langgeng dan tak lekang oleh gilasan waktu. Cerita-cerita perjalanan tokok bisnis sukses tentu memberikan pencerahan dan inspirasi bagi bisnis dan hidup kita.(Galeriukm).

Sumber: http://swa.co.id/2010/06/menggali-wisdom-dan-strategi-para-pebisnis-senior/


www.blogger-kawunganten.blogspot.com

Label:



Rabu, 22 Februari 2006

Panduan Memulai Bisnis untuk Pegawai Kantoran (pemula)



Bagi pekerja kantoran atau karyawan entah di swasta ataupun pegawai negeri, membangun bisnis online ataupun offline adalah hal yang mungkin tidak pernah terpikirkan. Berdasarkan pengalaman saya, sekitar 80% dari mereka mengatakan bahwa bisnis bukanlah jalur hidup mereka atau mereka merasa tidak memiliki bakat berbisnis sehingga mereka mengesampingkan bisnis sebagai alternatif atau tujuan utama dalam hal mencari rejeki. Padahal di tengah sulitnya ekonomi Indonesia saat ini, membangun bisnis harusnya merupakan kewajiban bagi tiap warga negara. Mengapa kita harus mulai membangun bisnis?

1.Agar Memiliki Pendapatan Cadangan Diluar Gaji Kantor.

Mengandalkan penghasilan dari pekerjaan sebagai pegawai kantoran cukup riskan. Apalagi ekonomi Indonesia masih sulit untuk bangkit. PHK atau perusahaan bangkrut adalah hal yang lazim terjadi. Dengan mulai membangun bisnis, anda memiliki income cadangan jika sewaktu-waktu terkena PHK atau perusahaan gulung tikar. Apalagi jika anda sudah berumah tangga dan hanya mengandalkan penghasilan dari satu orang saja bisa berbahaya jika tiba-tiba terkena PHK. Rumah tangga bisa terguncang bahkan tak jarang yang bunuh diri/gila gara-gara ekonominya tiba-tiba ambruk. Tidak ada jaminan perusahaan yang besar sekalipun akan survive terus menerus.

Kesalahan terbesar pekerja kantoran adalah mereka terbius oleh “zona kenyamanan” yaitu mendapat gaji rutin tiap bulan. Dengan pendapatan rutin seperti ini, bisnis tidak dipikirkan. Waktunya terlalu sibuk untuk bekerja. Ketika terkena PHK barulah mereka menjerit-jerit, menggelar demo besar-besaran. Beberapa dari mereka yang beruntung mendapat pesangon langsung menggunakannya untuk ikutan bisnis yang ia tidak memiliki pengetahuan/pengalaman sama sekali. Akibatnya ia tertipu atau bangkrut. Dunia serasa kiamat.

2. Membantu Pemerintah Mengatasi Pengangguran

Jangan sekali-kali mengandalkan pemerintah menciptakan lapangan pekerjaan. Pemerintah tidak bisa diandalkan dalam hal menciptakan lapangan pekerjaan. Jangan menunggu! kita sendiri yang harus bergerak!. Pengangguran di Indonesia sudah terlalu banyak bahkan yang bergelar S1-S2 turut meramaikan komunitas pengangguran. Dengan kita mulai membangun bisnis, minimal bisa menolong diri kita sendiri dari ancaman pengangguran. Syukur-syukur jika bisnis berkembang, kita malah bisa merekrut orang untuk dijadikan pegawai. Dengan merekrut orang jadi pegawai, berati kita turut menciptakan lapangan kerja dan ini sangat membantu pemerintah mengatasi pengangguran.

Pemerintah juga seharusnya giat mengkampanyekan “Gerakan Wirausaha Nasional” agar banyak tercipta lapangan kerja dari para pebisnis. Mindset sebagian warga Indonesia harus diubah bahwa setelah selesai sekolah/kuliah tidak mesti harus cari lowongan kerja.

3. Sebagai Sarana untuk Menolong orang lain

Saya pernah berbisnis burger dengan modal sekitar 2,5 juta/counter. Saya punya beberapa counter di beberapa minimarket. Yang saya rekrut pada saat itu adalah orang-orang yang membutuhkan pekerjaan dan tentu tidak malu untuk jualan burger. Beberapa orang yang menurut saya pengangguran kelas berat ternyata menolak menjadi pegawai counter burger dengan alasan “gengsi” jualan burger di depan minimarket. Saya lantas berpikir, pantas saja hidup mereka susah terus.. la wong kerja halal saja koq pake gengsi. Padahal jelas sekali gengsi tidak bisa membuat kita kaya. Justru kalau nanti kaya sudah pasti kita bergengsi hehehe. Waktu itu saya baru tahu bahwa kondisi miskin itu diciptakan oleh mindset (pemikiran) mereka sendiri. Mereka maunya instan : dapat uang tanpa perlu kerja keras. Saat tulisan ini dibuat, mereka masih memilih menjadi tukang parkir gelap/serabutan atau menjadi polisi cepek dijalanan. Padahal jika mau jualan burger, penghasilan mereka jelas lebih tinggi, apalagi jika jualannya laku keras pasti akan dapat komisi lagi.

Akhirnya saya dapat pegawai dari kalangan ibu-ibu. Mereka tidak masalah harus jualan burger, yang penting anaknya tetap bisa sekolah karena suaminya jadi pengangguran akibat PHK. Meskipun hanya jualan burger, Alhamdulilah bisa membantu orang lain yang membutuhkan.

4. Sebagai Persiapan Pensiun

Pensiun berarti hilangnya pendapatan berupa gaji. Kita hanya akan mendapat tunjangan semacam jamsostek atau tunjangan hari tua. Bagi yang terbiasa kerja, pensiun bisa menyebabkan post power syndrome dimana seseorang akan mengalami stress, merasa tidak berharga lagi bahkan cenderung temperamental. Dengan memulai bisnis sejak menjadi karyawan, maka ketika pensiun tiba kita tetap bisa beraktivitas mengurusi bisnis. Dengan memiliki bisnis setelah pensiun kita pun tidak melulu tergantung secara finansial kepada anak.

Manfaat lain jika kita memulai bisnis saat menjadi karyawan adalah dapat memotong learning curver (kurva belajar). Bisnis adalah belajar yang tiada henti. Jika kita baru membangun bisnis setelah pensiun maka kita harus belajar semuanya dari awal sehingga resiko kegagalan pun semakin besar. Lain halnya jika kita memulai bisnis sejak dini, skill wirausaha kita terasah, mental semakin kuat dan pengalaman dilapangan akan membuat kita menjadi kian matang seiring dengan pertambahan umur.

Jika bisnis yang kita bangun telah berkembang pesat, maka anda bisa menjadikan bisnis sebagai warisan bagi anak-cucu kita kelak. Anak-cucu kita minimal tidak ikut-ikutan menjadi Barisan Pengangguran Indonesia.

Berikut ini beberapa tips untuk anda dalam hal memulai bisnis :

A. Tetapkan Tujuan Anda Membangun Bisnis. Apa tujuan anda membangun bisnis? untuk cari tambahan penghasilan? sekedar coba-coba? bosan diperintah atasan? ingin membantu orang lain? . Niat inilah yang akan menentukan daya tahan anda di bisnis. Kalau sekedar coba-coba, bisa dipastikan anda akan mudah putus asa jika menghadapi kendala nantinya. Membangun bisnis berbeda dengan bekerja dikantoran.

Ketika menjadi karyawan kita tinggal menjalankan tugas melalui arahan dari atasan/bos. Tapi dibisnis, kita sendirilah yang harus merencakan sekaligus mengeksekusi segala keputusan. Di bisnis, kita belajar menjadi pemilik usaha. Minimal kita adalah bos bagi diri sendiri. Jika nantinya punya karyawan maka anda adalah bos bagi karyawan tersebut. Dengan demikian, di bisnis kita harus mampu juga untuk mengatur anak buah, bekerja sama dengan partner bisnis, menyusun strategi bisnis dll. Kita nantinya akan belajar banyak hal mulai dari soal keuangan, mencari pemodal, partner bisnis, memotivasi diri sendiri/anak buah, menghadapi kendala dll. So… kalaupun nantinya kita bangkrut di bisnis, percayalah bahwa tidak ada yang sia-sia. Bisnis boleh bangkrut tapi ilmu kita akan bertambah, intuisi bertambah tajam dan ini akan menjadi modal selanjutnya untuk kembali bangkit membangun bisnis lainnya.

Boleh dibilang hampir tidak ada pebisnis yang memulai bisnis dari awal lalu langsung sukses. Biasanya kita harus trial error dari satu bisnis ke bisnis lain sampai menemukan yang cocok. Jadi dengan memulai bisnis pada saat jadi karyawan paling tidak kita sudah mengumpulkan banyak pengalaman berbisnis. Mau sukses di bisnis boleh dibilang harus “babak belur” dulu di awal. Babak belur yang dimaksud mencakup : kena tipu, kemalingan barang, web kena hack, bangkrut dll. Itu semua akan jadi pengalaman dan ilmu yang berharga untuk kejayaan bisnis kita di masa depan.

B. Pilihlah bisnis yang merupakan hobi/kesenangan anda. Jika anda hobi memasak, bisa dimulai dengan membuka rumah makan atau membeli franchise bisnis kuliner. Jika anda seorang webmaster, maka bisa membuat website atau blog yang dapat menghasilkan uang melalui program affiliate, Pay per Review semacam blogvertise, sponsoredreview atau ikut program Pay per Click semacam google adsense, adbrite, bidvertiser dll. Usahakan anda belajar dari orang yang telah berkecimpung di bisnis tersebut agar anda lebih memahami medan bisnisnya. Bisnis yang dilakukan tanpa ilmu cukup riskan dijalankan apalagi yang modalnya mencapai ratusan juta/milyaran.

Jika anda memiliki modal yang besar (ratusan juta/milyaran) namun minim pengalaman bisnis, disarankan mengambil paket bisnis siap pakai atau yang lebih dikenal dengan Franchise. Dengan mengambil franchise, segala sesuatunya telah disiapkan pihak franchisor seperti perlengkapan, dekorasi, brosur, bahan, pelatihan dll. Anda hanya perlu menyiapkan modal, lokasi dan SDMnya saja.

C. Ikuti Kursus Wirausaha (Entrepreneur University). Bagi karyawan kantoran, membangun bisnis itu biasanya ditakuti. Takut gagal, takut bangkrut, takut tertipu, takut gak bisa balikin modal dll ketakutan. Dengan mengikuti kursus wirausaha, kita akan mendapat motivasi untuk mengubur segala ketakutan dan nantinya juga akan mendapat banyak masukan dari mentor-mentor bisnis yang memang sudah terbukti sukses dalam bisnisnya. Manfaat lainnya, di kursus tersebut kita akan berkenalan dengan orang yang memiliki visi yang sama sehingga nantinya bisa dijadikan partner bisnis. Beberapa intitusi yang mengadakan kursus wirausaha misalnya Primagama Entrepreneur University, GreenLeaf dll.

D. Mulailah Bisnis Secara Partime. Nasehat ini adalah untuk mereka yang pemula dalam dunia bisnis : Jangan dulu resign atau keluar dari pekerjaan anda ketika memulai membangun bisnis. Jika bisnis tersebut masih bisa dikerjakan secara partime maka itu lebih baik. Hal ini untuk meminimalisasi risiko. Kalau anda langsung keluar dari pekerjaan dan beberapa bulan kemudian bisnis anda tutup, maka anda akan kehilangan semua sumber pendapatan.

Nah, ketika bisnis anda semakin besar dan pendapatannya minimal 3x lipat dari gaji anda, silahkan saja kalau ingin keluar dari pekerjaan dan fokus membesarkan bisnis anda. Banyak pelaku bisnis pemula yang terlalu antusias dalam membangun bisnis sehingga terlalu cepat mengambil keputusan untuk keluar dari kantor. Pada beberapa sesi kursus wirausaha, mentor bisnis juga terkadang “ngompori” anak didiknya untuk keluar dari kerjaan dan mulai membangun bisnis. Ini perlu diwaspadai! jangan diikuti dulu karena mentor itu tidak akan bertanggung jawab manakala bisnis anda nanti bangkrut.

Memulai bisnis secara partime juga hanya ditujukan untuk bisnis dengan modal yang kecil. Jika modalnya mencapai ratusan atau bahkan milyaran rupiah, tentu sebaiknya fulltime agar bisa fokus mengelolanya. Apalagi jika modal tersebut berasal dari hutang, mau tidak mau anda harus fokus di bisnis untuk mengembalikan hutang tersebut.

E. Carilah Partner Bisnis (sharing risiko). Memulai bisnis pertama kali risikonya cukup besar karena kita belum memiliki pengalaman atau jam terbang yang tinggi. Dengan risiko seperti ini, ada baiknya anda mencari rekanan atau partner bisnis untuk diajak bergabung. Misalnya untuk membangun bengkel motor diperlukan modal sebesar 50 juta. Nah anda bisa cari 1-2 orang partner untuk diajak patungan modal. Jangan juga terlalu banyak mencari partner karena semakin banyak orang yang bergabung, maka pengambilan keputusan akan semakin rumit karena banyaknya ide/pendapat. Lebih baik mencari maksimal 2 orang partner yang memiliki visi yang sama.

Patungan adalah salah satu jalan terbaik dalam rangka mencari modal. Cara lain untuk mencari modal adalah dengan meminjam kepada teman atau saudara. Waktu masih kuliah (belum bekerja), saya bahkan pernah membuat warnet tanpa modal karena dapat pinjaman dari teman. Sebisa mungkin memang jangan menggunakan uang sendiri. Pakai saja uang orang lain atau bank, nah bayarnya dari keuntungan bisnis tersebut.

Kalau mau pinjam uang ke bank, gunakanlah fasilitas KTA (kredit tanpa agunan). KTA ini cocok untuk karyawan karena hanya memerlukan slip gaji atau fotocopy kartu kredit.

Dengan cara patungan modal, risiko bisa ditanggung bersama. Jika nantinya anda sudah mahir mengelola bisnis tersebut, barulah anda bisa mendirikan bisnis seorang diri karena telah memiliki banyak pengalaman/pengetahuan. Makin banyak pengalaman/pengetahuan, bisnis tersebut akan semakin minim risikonya yang berarti kemungkinan anda untuk sukses akan semakin besar!

Oke… selamat mencoba!

www.blogger-kawunganten.blogspot.com

Label: , ,



Minggu, 19 Februari 2006

An Introduction to Business Plans



A business plan is a written description of your business's future. That's all there is to it--a document that describes what you plan to do and how you plan to do it. If you jot down a paragraph on the back of an envelope describing your business strategy, you've written a plan, or at least the germ of a plan.

Business plans can help perform a number of tasks for those who write and read them. They're used by investment-seeking entrepreneurs to convey their vision to potential investors. They may also be used by firms that are trying to attract key employees, prospect for new business, deal with suppliers or simply to understand how to manage their companies better.

So what's included in a business plan, and how do you put one together? Simply stated, a business plan conveys your business goals, the strategies you'll use to meet them, potential problems that may confront your business and ways to solve them, the organizational structure of your business (including titles and responsibilities), and finally, the amount of capital required to finance your venture and keep it going until it breaks even.
Sound impressive? It can be, if put together properly. A good business plan follows generally accepted guidelines for both form and content. There are three primary parts to a business plan:
  • The first is the business concept, where you discuss the industry, your business structure, your particular product or service, and how you plan to make your business a success.
  • The second is the marketplace section, in which you describe and analyze potential customers: who and where they are, what makes them buy and so on. Here, you also describe the competition and how you'll position yourself to beat it.
  • Finally, the financial section contains your income and cash flow statement, balance sheet and other financial ratios, such as break-even analyzes. This part may require help from your accountant and a good spreadsheet software program.

Breaking these three major sections down even further, a business plan consists of seven key components:
1. Executive summary
2. Business description
3. Market strategies
4. Competitive analysis
5. Design and development plan
6. Operations and management plan
7. Financial factors

In addition to these sections, a business plan should also have a cover, title page and table of contents.
How Long Should Your Business Plan Be?
Depending on what you're using it for, a useful business plan can be any length, from a scrawl on the back of an envelope to, in the case of an especially detailed plan describing a complex enterprise, more than 100 pages. A typical business plan runs 15 to 20 pages, but there's room for wide variation from that norm.

Much will depend on the nature of your business. If you have a simple concept, you may be able to express it in very few words. On the other hand, if you're proposing a new kind of business or even a new industry, it may require quite a bit of explanation to get the message across.

The purpose of your plan also determines its length. If you want to use your plan to seek millions of dollars in seed capital to start a risky venture, you may have to do a lot of explaining and convincing. If you're just going to use your plan for internal purposes to manage an ongoing business, a much more abbreviated version should be fine.

About the only person who doesn't need a business plan is one who's not going into business. You don't need a plan to start a hobby or to moonlight from your regular job. But anybody beginning or extending a venture that will consume significant resources of money, energy or time, and that is expected to return a profit, should take the time to draft some kind of plan.

Startup.
The classic business plan writer is an entrepreneur seeking funds to help start a new venture. Many, many great companies had their starts on paper, in the form of a plan that was used to convince investors to put up the capital necessary to get them under way.

Most books on business planning seem to be aimed at these startup business owners. There's one good reason for that: As the least experienced of the potential plan writers, they're probably most appreciative of the guidance. However, it's a mistake to think that only cash-starved startup need business plans. Business owners find plans useful at all stages of their companies' existence, whether they're seeking financing or trying to figure out how to invest a surplus.

Established firms seeking help. Not all business plans are written by starry-eyed entrepreneurs. Many are written by and for companies that are long past the startup stage. Walker Group/Designs, for instance, was already well-established as a designer of stores for major retailers when founder Ken Walker got the idea of trademarking and licensing to apparel makers and others the symbols 01-01-00 as a sort of numeric shorthand for the approaching millennium. Before beginning the arduous and costly task of trademarking it worldwide, Walker used a business plan complete with sales forecasts to convince big retailers it would be a good idea to promise to carry the 01-01-00 goods. It helped make the new venture a winner long before the big day arrived. "As a result of the retail support up front," Walker says, "we had over 45 licensees running the gamut of product lines almost from the beginning."

These middle-stage enterprises may draft plans to help them find funding for growth just as the startup do, although the amounts they seek may be larger and the investors more willing. They may feel the need for a written plan to help manage an already rapidly growing business. Or a plan may be seen as a valuable tool to be used to convey the mission and prospects of the business to customers, suppliers or others.

About the only person who doesn't need a business plan is one who's not going into business. You don't need a plan to start a hobby or to moonlight from your regular job. But anybody beginning or extending a venture that will consume significant resources of money, energy or time, and that is expected to return a profit, should take the time to draft some kind of plan.

Here are seven reasons to think about updating your business plan. If even just one applies to you, it's time for an update.
  1. A new financial period is about to begin. You may update your plan annually, quarterly or even monthly if your industry is a fast-changing one.
  2. You need financing, or additional financing. Lenders and other financiers need an updated plan to help them make financing decisions.
  3. There's been a significant market change. Shifting client tastes, consolidation trends among customers and altered regulatory climates can trigger a need for plan updates.
  4. Your firm develops or is about to develop a new product, technology, service or skill. If your business has changed a lot since you wrote your plan the first time around, it's time for an update.
  5. You have had a change in management. New managers should get fresh information about your business and your goals.
  6. Your company has crossed a threshold, such as moving out of your home office, crossing the $1 million sales mark or employing your 100th employee.
  7. Your old plan doesn't seem to reflect reality any more. Maybe you did a poor job last time; maybe things have just changed faster than you expected. But if your plan seems irrelevant, redo it.

Business plans tend to have a lot of elements in common, like cash flow projections and marketing plans. And many of them share certain objectives as well, such as raising money or persuading a partner to join the firm. But business plans are not all the same any more than all businesses are.

Depending on your business and what you intend to use your plan for, you may need a very different type of business plan from another entrepreneur. Plans differ widely in their length, their appearance, the detail of their contents, and the varying emphases they place on different aspects of the business.

The reason that plan selection is so important is that it has a powerful effect on the overall impact of your plan. You want your plan to present you and your business in the best, most accurate light. That's true no matter what you intend to use your plan for, whether it's destined for presentation at a venture capital conference, or will never leave your own office or be seen outside internal strategy sessions.

When you select clothing for an important occasion, odds are you try to pick items that will play up your best features. Think about your plan the same way. You want to reveal any positives that your business may have and make sure they receive due consideration.

Types of Plans
Business plans can be divided roughly into four separate types. There are very short plans, or miniplans. There are working plans, presentation plans and even electronic plans. They require very different amounts of labor and not always with proportionately different results. That is to say, a more elaborate plan is not guaranteed to be superior to an abbreviated one, depending on what you want to use it for.

The Miniplan
A miniplan may consist of one to 10 pages and should include at least cursory attention to such key matters as business concept, financing needs, marketing plan and financial statements, especially cash flow, income projection and balance sheet. It's a great way to quickly test a business concept or measure the interest of a potential partner or minor investor. It can also serve as a valuable prelude to a full-length plan later on.

Be careful about misusing a miniplan. It's not intended to substitute for a full-length plan. If you send a miniplan to an investor who's looking for a comprehensive one, you're only going to look foolish.

The Working Plan
A working plan is a tool to be used to operate your business. It has to be long on detail but may be short on presentation. As with a miniplan, you can probably afford a somewhat higher degree of candor and informality when preparing a working plan.

A plan intended strictly for internal use may also omit some elements that would be important in one aimed at someone outside the firm. You probably don't need to include an appendix with resumes of key executives, for example. Nor would a working plan especially benefit from, say, product photos.

Fit and finish are liable to be quite different in a working plan. It's not essential that a working plan be printed on high-quality paper and enclosed in a fancy binder. An old three-ring binder with "Plan" scrawled across it with a felt-tip marker will serve quite well.

Internal consistency of facts and figures is just as crucial with a working plan as with one aimed at outsiders. You don't have to be as careful, however, about such things as typos in the text, perfectly conforming to business style, being consistent with date formats and so on. This document is like an old pair of khakis you wear into the office on Saturdays or that one ancient delivery truck that never seems to break down. It's there to be used, not admired.

The Presentation Plan
If you take a working plan, with its low stress on cosmetics and impression, and twist the knob to boost the amount of attention paid to its looks, you'll wind up with a presentation plan. This plan is suitable for showing to bankers, investors and others outside the company.

Almost all the information in a presentation plan is going to be the same as your working plan, although it may be styled somewhat differently. For instance, you should use standard business vocabulary, omitting the informal jargon, slang and shorthand that's so useful in the workplace and is appropriate in a working plan. Remember, these readers won't be familiar with your operation. Unlike the working plan, this plan isn't being used as a reminder but as an introduction.

You'll also have to include some added elements. Among investors' requirements for due diligence is information on all competitive threats and risks. Even if you consider some of only peripheral significance, you need to address these concerns by providing the information.

The big difference between the presentation and working plans is in the details of appearance and polish. A working plan may be run off on the office printer and stapled together at one corner. A presentation plan should be printed by a high-quality printer, probably using color. It must be bound expertly into a booklet that is durable and easy to read. It should include graphics such as charts, graphs, tables and illustrations.

It's essential that a presentation plan be accurate and internally consistent. A mistake here could be construed as a misrepresentation by an unsympathetic outsider. At best, it will make you look less than careful. If the plan's summary describes a need for $40,000 in financing, but the cash flow projection shows $50,000 in financing coming in during the first year, you might think, "Oops! Forgot to update that summary to show the new numbers." The investor you're asking to pony up the cash, however, is unlikely to be so charitable.

The Electronic Plan
The majority of business plans are composed on a computer of some kind, then printed out and presented in hard copy. But more and more business information that once was transferred between parties only on paper is now sent electronically. So you may find it appropriate to have an electronic version of your plan available. An electronic plan can be handy for presentations to a group using a computer-driven overhead projector, for example, or for satisfying the demands of a discriminating investor who wants to be able to delve deeply into the underpinnings of complex spreadsheets.

Source:The Small Business Encyclopedia, Business Plans Made Easy, Start Your Own Business and Entrepreneur magazine.

www.blogger-kawunganten.blogspot.com

Label: ,