Minggu, 26 Februari 2006

Dari Bakul Ikan Jadi Pemilik Maskapai Penerbangan



Pendakian terjal ditempuh oleh Susi Pudjiastuti. Perempuan kelahiran Pangandaran tahun 1965 ini pada awal tahun 1980-an gagal menamatkan SMA-nya di Cilacap, Jawa Tengah. Ia pulang ke Pangandaran dan mencoba berjualan aneka barang seperti baju, bedcover, dan sebagainya.

Namun akhirnya ia menemukan potensi Pangandaran, yaitu ikan. Dengan modal Rp 750 ribu hasil penjualan perhiasan miliknya, ia mulai berjualan ikan dengan cara membeli ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan menjualnya ke restoran-restoran. Hari pertamanya ia hanya berhasil menjual 1 kg ikan. Itupun ke restoran kenalannya.

Keuletan, tak membuatnya mundur. Ia terus mencoba lagi hari-hari berikutnya. Meski tak mudah, akhirnya ia bia menguasai pasar Pangandaran setahun kemudian. Lalu ia mencoba menjual ikan-ikan dari Pangandaran ke Jakarta dengan menyewa truk. Berangkat jam tiga sore sampai di Jakarta tengah malam menjadi kegiatan sehari-harinya.

Dari semula menyewa truk akhirnya Susi bisa membeli truk. Usahanya terus berkembang. Sampai-sampai ia bisa mengekspor udang ke Jepang. Meskipun sempat jatuh bangun, alat transportasi ikannya berubah drastis dari truk hingga menggunakan pesawat terbang.

Ceritanya, setelah menikah dengan pilot asal Jerman, Susi berangan-angan mengangkut ikannya menggunakan pesawat. Angan-angan itu timbul karena dengan menggunakan truk yang memakan waktu sembilan jam perjalanan, dan ikan-ikannya mati sesampai di Jakarta. Itulah yang membuat harga ikannya jatuh. Dengan pesawat cuma diperlukan satu jam sehingga harga ikannya pasti tinggi karena lebih segar.

Tahun 2000, Susi mencoba mengajukan pinjaman ke bank untuk merealisasikan rencana itu. Namun rencananya itu ditertawakan pihak bank dan sudah tentu pengajuan kreditnya ditolak. Baru pada tahun 2004, ada bank yang mau mengabulkan kreditnya. Dari Bank Mandiri, ia mendapat pinjaman Rp 47 miliar yang ia gunakan untuk membuat landasan di Pangandaran dan membeli dua pesawat Cessna.

Namun sebulan setelah pengoperasian pesawatnya, terjadi bencana tsunami di Aceh. Naluri kemanusiaannya terusik. Ia terbang ke Aceh untuk memberi bantuan. Pesawat Susilah, pesawat pertama yang mendarat di Aceh setelah bencana itu. Besoknya ia membawa barang-barang bantuan seperti beras, mi instan, dan sebagainya. Susi dan pesawatnya pun berkutat di Aceh mendistribusikan barang-barang bantuan.

Rencananya, ia "hanya" memberi bantuan sarana angkutan gratis selama 2 minggu,namun banyak LSM dalam dan luar negeri yang memintanya tetap di sana dan mereka bersedia menyewa pesawat Susi. Dari sanalah lahir nama Susi Air sebagai usaha penyewaan pesawat.

Kini Susi Air sudah memiliki 50-an pesawat dan nama Susi Air pun dikenal sebagai maskapai penerbangan carteran yang populer di Indonesia saat ini. Sungguh suatu pendakian nasib yang menakjubkan dari seorang ibu yang tak tamat SMA. Keuletan dan keberaniannya mengantarkannya ke puncak sukses bisnis. Luar Biasa!!

Sumber : http://www.andriewongso.com/artikel/Success_Story/3707/Dari_Bakul_Ikan_Jadi_Pemilik_Maskapai_Penerbangan/


www.blogger-kawunganten.blogspot.com

Label: ,



Senin, 20 Februari 2006

Sukses Usaha Di Sektor Agrobisnis Walau Dalam Keterbatasan



Keterbatasan fisik terkadang membuat orang berhenti berkreasi dan beraktifitas produktif. Namun tidak demikian halnya dengan Triyono,lelaki 29 tahun dari Sukoharjo ini justru sukses usaha di sektor Agrobisnis karena keterbatasan fisiknya. Keterbatasan fisiknya sudah pasti menjadi salah satu alasan orang untuk menolaknya ketika melamar pekerjaan di suatu perusahaan. Hal inilah yang mendorong Triyono untuk membuka usaha sendiri di bidang agrobisnis. Selain itu prinsip yang dianutnya: sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain turut memperkuat semangat untuk membuka usaha sendiri.

Pilihan bisnisnya jatuh pada usaha Agrobisnis, selain karena latar belakang pendidikannya adalah jurusan Pertanian dan Peternakan Universitas Negeri Sebelas Maret, ia menganggap usaha di sektor Agrobisnis memiliki peluang yang cukup besar. Dengan bermodalkan Rp 5 juta, ia memulai usaha bebek potong. Ia membeli 500 bebek untuk dia kembang biakkan dan dibesarkan di lahan pekarangan rumah keluarganya.

Ia benar-benar menerapkan ilmu peternakan yang diperoleh di bangku kuliah. Hasilnya tokcer. Banyak pesanan mampir karena kualitas bebek peternakan Tri terbilang unggul. Bebek hasil ternaknya bukan hanya sehat, tetapi juga memiliki berat proposional. Ini yang membuat harga “si kwek-kwek” selalu bagus.

Pelan tapi pasti, selama setahun Tri mampu mengumpulkan modal dari usaha bebek potongnya. Tri memakai tambahan dana itu sebagai usaha jual beli sapi menjelang Idul Adha.

Usaha Agrobisnisnya semakin berkembang , awal 2007 ia memberanikan diri memulai usaha jual beli hewan kurban. Ia mengenang, saat itu menjadi tahun terberat baginya. Selain harus mempersiapkan ujian skripsi, ia juga baru merintis usaha agrobisnis.

Walhasil, saat pagi hingga siang hari ia harus berkutat dengan kuliah. Setelah itu Tri mencurahkan waktunya membeli dan menjual sapi untuk pasokan hari raya kurban.

Seorang diri, ia memasok hewan-hewan tersebut ke beberapa daerah di sekitar Sukoharjo. Masuk keluar pasar setiap hari sudah menjadi kegiatan rutin. “Saya harus berjalan jauh dengan menggunakan kruk, mencari dan membeli sapi yang berkualitas kemudian mengantar sapi-sapi tersebut ke tempat pesanan,” kenang Tri. Tapi, dia pantang menyerah meski beberapa orang kerap menolak bekerja sama dengannya.

Segala usahanya tak sia-sia. Tri lulus dengan indeks prestasi kumulatif 3,2, dan juga meraih untung dari hasil penjualan sapi kurban. Ia memutar kembali keuntungan itu sebagai modal mengembangkan usaha agrobisnis dengan membeli sapi dan ayam.

Menyadari peluang usaha dari agrobisnis cukup besar karena menyangkut kebutuhan primer banyak orang, dengan bermodalkan Rp 20 juta, Tri pun mantap membangun usaha secara serius pada tahun 2008.

Dengan mengibarkan bendera CV Tri Agri Aurum Multifarm, Tri berbisnis peternakan terpadu sapi potong, ayam potong, dan pupuk organik. Meski tak memiliki latar belakang berbisnis, Tri mampu meraih pasar dengan cepat.

Bekal kuliah menjadi nilai plus mengembangbiakkan ternak. Alhasil, pada 2008 dia mampu meraih omzet Rp 50 juta per bulan. Dia juga berhasil membuka lapangan kerja baru di desanya.

Meski tak keluar sebagai pemenang Wirausahawan Mandiri 2010, Triyono tak kecewa. Maklum, sejatinya, melalui ajang bertaraf nasional ini, ia ingin menunjukkan kepada semua orang bahwa peternakan sangat layak menjadi pilihan anak muda dalam berusaha. Asalkan, dikelola dengan manajemen yang baik.

Bagi Triyono, persoalan menang atau kalah bukanlah tujuannya mengikuti ajang Wirausahawan Mandiri 2010. Ada gol lain yang hendak dituju. Yakni, mengenalkan CV Tri Agri Aurum Multifarm ke seluruh Indonesia.

Tak hanya itu, Triyono juga ingin menunjukkan ke semua orang bahwa agrobisnis bukan hanya usaha yang cocok untuk orang tua, tetapi juga dapat dikelola oleh anak muda seperti dirinya. “Saya ingin usaha agrobisnis yang dikelola anak muda menjadi tren,” ungkap Triyono.

Sejak mengembangkan usaha agrobisnis dengan bendera Tri Agri tiga tahun lalu, omzet Triyono terus menanjak setiap tahun. Jika pada 2008, penghasilannya baru sebesar Rp 500 juta. Pada 2010 lalu pendapatannya melonjak enam kali lipat menjadi Rp 3 miliar.

Kualitas ternak-ternak milik Triyono yang dibudidayakan di peternakan seluas 1 hektar tersebut terbilang unggul ketimbang ternak milik pelaku usaha lain. Meski begitu, bukan berarti Triyono boros dalam membudidayakan semua hewan ternaknya, justru sebaliknya. Tapi, “Bukan berarti saya irit memberi makanan ternak, tapi saya memberi makanan ternak secukupnya,” ujar pria 29 tahun ini.

Hewan ternak yang diberi makan sesuai dengan asupannya dan tepat waktu lebih sehat dibandingkan dengan hewan ternak yang terus-terusan diberi makan. “Kami selalu memberi pakan tanpa campuran bahan kimia, hanya yang ada di lahan kamilah yang dimakan ternak, misalnya, rumput hijau,” kata Triyono.

Cara ini tentu saja dapat menekan biaya operasional. Triyono juga memanfaatkan aneka bumbu dapur, seperti kunyit, jahe, dan lengkuas untuk mengobati ternak-ternaknya yang sakit akibat faktor perubahan cuaca. “Kalau ternak tak nafsu makan, tinggal diberi daun pepaya yang telah ditumbuk halus,” imbuh dia.

Memanfaatkan pakan yang bersumber langsung dari alam tanpa campuran bahan kimia, Triyono mengatakan, juga akan menghasilkan sapi, ayam, dan bebek yang sehat dan bebas dari penyakit. Jadi, manajemen pakan, menurut Triyono, adalah 70 persen kunci dari keberhasilannya.

Namun, pola peternakan yang layak ditiru dari Triyono tak cuma sekadar soal memelihara, membesarkan, dan menjual hewan ternak, tetapi juga mengenai pengolahan limbah ternak.

Triyono—yang kerap memberikan penyuluhan kepada mahasiswa dari pelbagai perguruan tinggi, seperti Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Universitas Sebelas Maret Surakarta—memanfaatkan kotoran hewan ternaknya menjadi pupuk kompos, kemudian dijual ke pasar seharga Rp 350 per kilogram.

Dalam sebulan, Triyono dapat mengolah 15 ton kotoran ternak yang disulap menjadi pupuk. Pria yang sempat mengenyam pendidikan di sekolah luar biasa (SLB) selama setahun saat usia delapan tahun ini mengatakan, ide mengolah limbah peternakan muncul ketika ia melihat kotoran ternak yang makin menggunung di sekitar lahan peternakannya.

Untuk menjadi pupuk, Triyono mencampur kotoran ternak dengan tanah dan serbuk jerami. Pengerjaannya secara manual. Setelah semua bahan tercampur secara merata, kemudian dibungkus dengan plastik dan siap dijual ke pasar.

Meski usaha agrobisnis seperti peternakan telah mengantarkan sebagian orang bergelimang harta, toh sektor ini belum menjadi pilihan kalangan anak muda. Selain masih dinilai terlalu kolot dan hanya cocok untuk orang tua dan masyarakat pedesaan, agribisnis khususnya peternakan dianggap tidak bergengsi.

Apalagi, Triyono mengatakan, memulai usaha di bidang agrobisnis harus memiliki modal yang besar. Inilah yang membuat para peternak lebih terlihat sebagai pemasok yang hanya mengejar keuntungan semata.

Padahal, menurut Triyono, kalau usaha ini dikelola dengan baik, niscaya beternak bisa setara dengan usaha-usaha bergengsi lainnya, seperti kuliner, industri kreatif, atau jasa.(Galeriukm).

Sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/


www.blogger-kawunganten.blogspot.com

Label: ,



Sabtu, 18 Februari 2006

Bob Sadino : Miskin Dulu, Kaya Raya Kemudian



Entrepreneur sukses yang satu ini menjalani jalan hidup yang panjang dan berliku sebelum meraih sukses. Dia sempat menjadi supir taksi hingga kuli bangunan yang hanya berpenghasilan Rp100.

Penampilannya eksentrik. Bercelana pendek jins, kemeja lengan pendek yang ujung lengannya tidak dijahit, dan kerap menyelipkan cangklong di mulutnya. Ya, itulah sosok pengusaha ternama Bob Sadino, seorang entrepreneur sukses yang merintis usahanya benar-benar dari bawah dan bukan berasal dari keluarga wirausaha. Siapa sangka, pendiri dan pemilik tunggal Kem Chicks (supermarket) ini pernah menjadi sopir taksi dan kuli bangunan dengan upah harian Rp100.

Celana pendek memang menjadi “pakaian dinas” Om Bob –begitu dia biasa disapa– dalam setiap aktivitasnya. Pria kelahiran Lampung, 9 Maret 1933, yang mempunyai nama asli Bambang Mustari Sadino, hampir tidak pernah melewatkan penampilan ini. Baik ketika santai, mengisi seminar entrepreneur, maupun bertemu pejabat pemerintah seperti presiden. Aneh, namun itulah Bob Sadino.

“Keanehan” juga terlihat dari perjalanan hidupnya. Kemapanan yang diterimanya pernah dianggap sebagai hal yang membosankan yang harus ditinggalkan. Anak bungsu dari keluarga berkecukupan ini mungkin tidak akan menjadi seorang entrepreneur yang menjadi rujukan semua orang seperti sekarang jika dulu tidak memilih untuk menjadi “orang miskin”.

Sewaktu orangtuanya meninggal, Bob yang kala itu berusia 19 tahun mewarisi seluruh hartake kayaan keluarganya karena semua saudara kandungnya kala itu sudah dianggap hidup mapan. Bob kemudian menghabiskan sebagian hartanya untuk berkeliling dunia. Dalam perjalanannya itu, ia singgah di Belanda dan menetap selama kurang lebih sembilan tahun. Di sana, ia bekerja di Djakarta Lylod di kota Amsterdam, Belanda, juga di Hamburg, Jerman. Di Eropa ini dia bertemu Soelami Soejoed yang kemudian menjadi istrinya.

Sebelumnya dia sempat bekerja di Unilever Indonesia. Namun, hidup dengan tanpa tantangan baginya merupakan hal yang membosankan. Ketika semua sudah pasti didapat dan sumbernya ada menjadikannya tidak lagi menarik. “Dengan besaran gaji waktu itu kerja di Eropa, ya enaklah kerja di sana. Siang kerja, malamnya pesta dan dansa. Begitu-begitu saja, terus menikmati hidup,” tulis Bob Sadino dalam bukunya Bob Sadino: Mereka Bilang Saya Gila.

Pada 1967, Bob dan keluarga kembali ke Indonesia. Kala itu dia membawa serta dua mobil Mercedes miliknya. Satu mobil dijual untuk membeli sebidang tanah di Kemang, Jakarta Selatan. Setelah beberapa lama tinggal dan hidup di Indonesia, Bob memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya karena ia memiliki tekad untuk bekerja secara mandiri. Satu mobil Mercedes yang tersisa dijadikan “senjata” pertama oleh Bob yang memilih menjalani profesi sebagai sopir taksi gelap. Tetapi, kecelakaan membuatnya tidak berdaya. Mobilnya hancur tanpa bisa diperbaiki.

Setelah itu Bob beralih pekerjaan menjadi kuli bangunan. Gajinya ketika itu hanya Rp100. Ia pun sempat mengalami depresi akibat tekanan hidup yang dialaminya. Bob merasakan bagaimana pahitnya menghadapi hidup tanpa memiliki uang. Untuk membeli beras saja dia kesulitan. Karena itu, dia memilih untuk tidak merokok. Jika dia membeli rokok, besok keluarganya tidak akan mampu membeli beras.

“Kalau kamu masih merokok, malam ini besok kita tidak bisa membeli beras,” ucap istrinya memperingati.

Kondisi tersebut ternyata diketahui teman-temannya di Eropa. Mereka prihatin. Bagaimana Bob yang dulu hidup mapan dalam menikmati hidup harus terpuruk dalam kemiskinan. Keprihatinan juga datang dari saudara-saudaranya. Mereka menawarkan berbagai bantuan agar Bob bisa keluar dari keadaan tersebut. Namun, Bob menolaknya.

Dia sempat depresi, tetapi bukan berarti harus menyerah. Baginya, kondisi tersebut adalah tantangan yang harus dihadapi. Menyerah berarti sebuah kegagalan. “Mungkin waktu itu saya anggap tantangan. Ternyata ketika saya tidak punya uang dan saya punya keluarga, saya bisa merasakan kekuatan sebagai orang miskin. Itu tantangan, powerfull. Seperti magma yang sedang bergejolak di dalam gunung berapi,” papar Bob.

Jalan terang mulai terbuka ketika seorang teman menyarankan Bob memelihara dan berbisnis telur ayam negeri untuk melawan depresinya. Pada awal berjualan, Bob bersama istrinya hanya menjual telur beberapa kilogram. Akhirnya dia tertarik mengembangkan usaha peternakan ayam. Ketika itu, di Indonesia, ayam kampung masih mendominasi pasar. Bob-lah yang pertama kali memperkenalkan ayam negeri beserta telurnya ke Indonesia. Bob menjual telur-telurnya dari pintu ke pintu. Padahal saat itu telur ayam negeri belum populer di Indonesia sehingga barang dagangannya tersebut hanya dibeli ekspatriat-ekspatriat yang tinggal di daerah Kemang.

Ketika bisnis telur ayam terus berkembang Bob melanjutkan usahanya dengan berjualan daging ayam. Kini Bob mempunyai PT Kem Foods (pabrik sosis dan daging). Bob juga kini memiliki usaha agrobisnis dengan sistem hidroponik di bawah PT Kem Farms. Pergaulan Bob dengan ekspatriat rupanya menjadi salah satu kunci sukses. Ekspatriat merupakan salah satu konsumen inti dari supermarketnya, Kem Chick. Daerah Kemang pun kini identik dengan Bob Sadino.

“Kalau saja saya terima bantuan kakak-kakak saya waktu itu, mungkin saya tidak bisa bicara seperti ini kepada Anda. Mungkin saja Kemstick tidak akan pernah ada,” ujar Bob.

Pengalaman hidup Bob yang panjang dan berliku menjadikan dirinya sebagai salah satu ikon entrepreneur Indonesia. Kemauan keras, tidak takut risiko, dan berani menjadi miskin merupakan hal-hal yang tidak dipisahkan dari resepnya dalam menjalani tantangan hidup. Menjadi seorang entrepreneur menurutnya harus bersentuhan langsung dengan realitas, tidak hanya berteori.

Karena itu, menurutnya, menjadi sarjana saja tidak cukup untuk melakukan berbagai hal karena dunia akademik tanpa praktik hanya membuat orang menjadi sekadar tahu dan belum beranjak pada taraf bisa. “Kita punya ratusan ribu sarjana yang menghidupi dirinya sendiri saja tidak mampu, apalagi menghidupi orang lain,” jelas Bob.

Bob membuat rumusan kesuksesan dengan membagi dalam empat hal yaitu tahu, bisa, terampil, dan ahli.

“Tahu” merupakan hal yang ada di dunia kampus, di sana banyak diajarkan berbagai hal namun tidak menjamin mereka bisa. Sedangkan “bisa” ada di dalam masyarakat. Mereka bisa melakukan sesuatu ketika terbiasa dengan mencoba berbagai hal walaupun awalnya tidak bisa sama sekali. Sedangkan “terampil” adalah perpaduan keduanya. Dalam hal ini orang bisa melakukan hal dengan kesalahan yang sangat sedikit. Sementara “ahli” menurut Bob tidak jauh berbeda dengan terampil. Namun, predikat “ahli” harus mendapatkan pengakuan dari orang lain, tidak hanya klaim pribadi.

Ya, itulah resep Bob untuk menjadi sukses seperti sekarang.

Sumber : okezone
http://www.successkid.com/bob-sadino-miskin-dulu-kaya-raya-kemudian

www.blogger-kawunganten.blogspot.com

Label:



Minggu, 12 Februari 2006

Rahasia Bob Sadino



Setiap orang memiliki rahasia. Begitu juga dengan Bob Sadino. Rahasia, tidak selalu berkonotasi jelek, karena yang ini justru rahasia baik, yang penting untuk anda ketahui, pembaca WK. Rahasia ini begitu pentingnya sehingga saya mesti hati-hati mengutarakannya, takut yang memiliki rahasia marah atau mensomasi saya.

Sebelum bercerita tentang rahasia kesuksesan Bob Sadino, saya ingin bercerita tentang rahasia-rahasia lainnya yang ringan-ringan, yang pernah saya dengar. Di Kampung saya, daerah urban yang kini disesaki industri, Kawasan Selatan Gresik, Jawa Timur, ada seorang penjual bakso keliling yang setiap sore selalu ditunggu-tunggu oleh pelanggan. Ia berjualan bakso sejak saya masih remaja, dengan rasa yang biasa-biasa saja. Tetapi dalam lima tahun terakhir, saat penjual bakso mulai banyak, saya melihat perubahan yang besar. Selain rasa baksonya yang enak, rasa kuahnya juga sangat sedap, halal, harganya juga murah.

Pantas, setiap orang selalu menunggu-nunggu saat ia lewat. Namanya, Timbul. Nama ini, kini bukan sekedar nama bakso, tetapi sudah menjadi guyonan jika ada orang yang sedang berdiri di tepi jalan. Ketika ditanya, menunggu siapa? Jawaban slengekan sering dibalas dengan ucapan : menunggu Timbul. Suatu ketika, saat saya pulang kampung, saya mendatangi rumahnya, menanyakan mengapa rasa baksonya begitu enak, tekstur, kekenyalannya, juga rasanya. Semuanya dibuat alami, dari bahan halal, daging sapi beneran, bukan daging glonggongan, tanpa bahan pengawet karena selalu habis dalam sehari.

“Rahasianya apa kok baksonya enak,” tanya saya kepadanya. Karena saya wartawan, dan bukan pedagang bakso, Timbul mau menceritakan perjalanan hidupnya, dari sejak berjualan bakso pertama kali, hingga hari ini. Jika dihitung-hitung, sudah lebih dari 15 tahun ia berjualan bakso. Iapun menceritakan, bagaimana ia setiap hari mencoba membuat bakso terbaik dan rasa terenak sesuai yang diinginkan pelanggan. Setiap pulang dari berjualan, ia selalu mengoreksi kekurangannya bersama istri tercintanya. Menghitung omzet, keuntungan, meskipun jumlahnya tidak seberapa, justru merupakan kegiatan berikutnya.

Untuk mengetahui apa yang diinginkan pelanggan, caranya, ia selalu mendengar apa saja yang dikeluhkan pelanggan, mulai dari kuah yang anyep, bakso yang kurang empuk, hingga omela-omelan lain yang sering diucapkan pelanggan. Semua didengarkan. Saran, kritikan, cacian, tidak membuatnya marah, tetapi malah ‘tersenyum’ dan berkeinginan untuk terus memberikan yang terbaik kepada pelanggannya. Rasa baksonya yang enak rahasianya terletak pada campuran daging, dan bahan lain dengan adonan yang tepat. Rasa kuahnya yang sedap terletak pada perlakuan pemberian bumbu-bumbu dan kaldu yang tepat, serta pengapian saat memasak. Dan tentu saja banyak rahasia-rahasia lainnya yang tidak mungkin saya ceritakan di rubrik sebanyak satu halaman ini.

“Bolehkah resep ini saya bawa ke Jakarta?. Saya yakin resepnya bisa menjadi bakso yang banyak disukai semua orang. Kalau perlu diwaralabakan, atau dimitrakan, seperti teman-teman saya ,”lanjut saya. Yang tidak saya duga jawabannya : “saya ingin membahagiakan tetangga-tetangga saya, orang-orang kampung saya untuk menikmati bakso terlezat yang tidak ada duanya,” ujarnya. Lho kok?. Itulah rahasia Timbul yang saya tak bisa mengoreknya.

Kembali ke Rahasia Bob Sadino. Banyak perhimpunan mahasiswa, perkumpulan pengusaha yang mengundang Bob untuk berbicara. Berbicara tentang kesuksesan dan kiat-kiatnya berbisnis. Cerita kisah hidup dan bisnisnya biasanya bermula dari ia berjualan telur ayam kampung. Saya yang berkali-kali hadir mendengar penuturan Bob, sering mendengar kalimat yang sama, namun setiap waktu penekannya berbeda. Suatu saat saya berkesempatan menjadi moderator acara diskusi bisnis yang diselenggarakan Marketing Club, Mahasiswa Magister Manajemen UGM, di Yogyakarta beberapa waktu lalu. Peserta yang hadir jumlahnya ratusan yang sangat antusias. Seorang bertanya : Apa kiat sukses Bob Sadino?

Cerita Bob bergulir kembali, mengawali usaha di zaman bahulea, zaman ketika Bob masih susah dengan berjualan telor ayam bersama istrinya ke perumahan-perumahan, menawarkan satu persatu telor tersebut kepada pelanggan yang dikenalnya di Kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Cerita menjadi sedemikian dramatis. Mengapa begitu dramatis? Karena dipastikan tidak mungkin ada orang yang mau meniru cara Bob untuk memulai bisnis dengan berjualan telor. Tetapi justru inilah rahasia terbesarnya. Bob dan istrinya pandai berbahasa Inggris, Jerman, dan Indonesia. Ia lihay melakukan kegiatan pemasaran.

Bisa dibayangkan seseorang yang memiliki kepiawaian berjualan dengan pemahaman bahasa internasional yang mumpuni, seperti bahasa Inggris dan Jerman, akan membuat Bob berbeda dari yang lainnya. Seorang penjual telor tetapi dapat bergaul dan berkomunikasi dengan orang-orang bule! Rahasia itulah yang paling besar yang mengantarkannya menuju sukses sekarang. Bukan celana pendeknya.

Sumber : http://www.majalahwk.com/artikel-artikel/entrepreneurship/296-edisi-majalah.html


www.blogger-kawunganten.blogspot.com

Label:



Rabu, 08 Februari 2006

Awalnya Pedagang Asongan, Kini Mempekerjakan 20



Banyak pengusaha sukses yang lahir karena disokong orang tuanya atau karena punya koneksi luas sehingga dipercaya mengelola usaha. Namun tidak demikian dengan Iwan Herawan, 41 tahun, sukses menjadi pengusaha benar-benar dari NOL karena masa kecilnya habis untuk berdagang asongan di objek wisata Tangkubanparahu. Karena kepintarannya membaca pasarlah yang mengantar Iwan Herawan, sukses sebagai pengusaha miniatur binatang.

Cerita keberhasilan pengusaha muda kelahiran Bandung, 4 Desember 1969 ini tidak bisa lepas dari keberadaan Tangkubanparahu di Kabupaten Bandung Barat (KBB) dan Kabupaten Subang. Sedari SMP dia sudah memberanikan diri berjualan, khususnya pada hari-hari libur sekolah. Atau ketika sekolah siang, dia terlebih dahulu berjualan di pagi harinya.

Begitu pun sebaliknya, ketika sekolah pagi maka sore harinya digunakan untuk berjualan. Walaupun harus kehilangan waktu bermain yang lumrah dirasakan anak-anak seangkatannya, Iwan kecil merasa senang menjalani pekerjaannya. Hal itu terpaksa dia lakukan karena ekonomi keluarga yang pas-pasan. Tapi siapa sangka, dari jualan asongan itulah cikal bakal dia menjadi pengusaha sukses yang bisa mempekerjakan 20 karyawan dengan omzet usaha puluhan hingga ratusan juta rupiah setiap bulannya.

Pelajaran hidup dan kepintarannya membaca situasi mengantarnya merengkuh cita-cita sebagai pengusaha. Dari seorang pedagang asongan, kini telah memiliki shoowroom di Tangkubanparahu tempat memajangkan lebih dari 50 item berbagai produk miniatur binatang hasil kreasinya. Iwan menuturkan, usahanya mulai dirintis pada 1990 dengan modal alakadarnya, sekira Rp300 ribu hasil usaha berdagang. Modal itu dia belanjakan perkakas seperti solder, kayu, dan ampelas.

Saat itu dia tidak punya pilihan selain membuka usaha sendiri karena keinginannya untuk kuliah tidak kesampaian. Dia sempat mengecap bangku kuliah beberapa bulan di Universitas Padjadjaran namun terpaksa ditinggalkan karena tidak ada biaya. Ide awal membuat miniatur binatang kayu didapatkannya dari sang paman. Ketika itu Iwan disarankan mengolah kayu lame menjadi benda bernilai jual tinggi. Dengan kreativitas dan imajinasi, ditunjang darah seni, Iwan pun bisa menyulap kayu lame menjadi miniatur binatang yang bernilai seni tinggi.

“Saya percaya, ketika niatnya baik, dijalankan dengan baik, maka hasilnya pun pasti baik. Terbukti, ketika ada keinginan untuk membuat miniatur binatang maka saya selalu diberi jalan kendati saya tidak pernah belajar seni ukir sebelumnya,” kata ayah dua anak bernama Tedy Heriyadi, 18, dan Chandra Kuswendi,11. Seiring perjalanan waktu, usahanya semakin berkembang. Dia pun mulai mempekerjakan dua orang karyawan yang merupakan tetangganya.

Usahanya yang berlokasi di Kampung Pondok, RT 2/3, Pasar Ahad Cikole, Lembang, Kabupaten Bandung Barat (KBB), diberi nama Handycraft Karya Cipta. Kian lama produknya banyak diminati pasar lokal ataupun mancanegara seperti dari Iran, Singapura, Jepang, China, Korea, dan Yunani. Bahkan, dalam sebulan dia bisa mengirimkan 30 ribu miniatur ke luar negeri. Mau tak mau dia pun terus menambah karyawannya hingga sekarang menjadi 20 orang dan bisa bertambah jika pesanan barang membludak.

Dia merasa bangga dapat menjadi orang yang mampu membantu pemerintah dalam mengurangi angka pengangguran. Meski kini sudah meraup sukses, bukan berarti semuanya berjalan tanpa usaha keras. Tidak jarang ada kendala yang mengiringi perjalanan usahanya selama hampir 20 tahun. Iwan sadar, hidup ini ibarat roda, kadang di atas tapi kadang pula di bawah. Begitu pun dengan usahanya, ada saatnya banyak pesanan tapi ada juga musim paceklik (sepi pesanan).

Menurut dia, itu adalah sebuah risiko dan konsekuensi menjadi seorang entrepreneur agar bisa mengolah kesulitan menjadi kemudahan. Dia berusaha tidak pernah memperlihatkan raut wajah panik atau putus asa manakala pemasukan usahanya sedang berkurang. Dengan begitu, berarti dia mengangkat motivasi karyawannya agar tidak pernah malas untuk bekerja.

“Menjadi pengusaha artinya bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup para karyawan, dan hal itu yang selalu saya jaga agar bagaimana usaha bisa maju sehingga dampaknya bisa menyejahterakan seluruh karyawan,” tegasnya. Kendala lain yang dihadapi suami Neneng Hermawati, 40, ini terkait dengan promosi dan pemasaran. Karena itu, dia selalu berharap kepada pemerintah untuk lebih memperhatikan para penggerak usaha kecil dan menengah. Kalaupun tidak bisa memberikan bantuan materi, paling tidak informasi agenda pameran-pameran.

Ditanya tentang falsafah hidupnya hingga bisa sukses, Iwan menjawab: kegigihan dan kerja keras. Dia yakin, setiap orang punya potensi dan tergantung dari masing-masing individu menggalinya untuk menjadikan modal berharga guna meraih hidup yang jauh lebih baik. Dia tidak khawatir bahkan mendorong agar karyawannya bisa membuka usahanya secara mandiri.

Hal itu menjadi kebanggaan karena pertanda dia telah berhasil menularkan keahlian dan jiwa entreprenuer kepada orang lain.Tak pernah terbesit akan merasa tersaingi sebab dia pun akan terus belajar mengembangkan kemampuannya untuk menciptakan produk-produk yang lebih inovatif lagi.

Sumber : okezone.com
http://www.successkid.com/awalnya-pedagang-asongan-kini-mempekerjakan-20-karyawan

www.blogger-kawunganten.blogspot.com

Label: ,